Senin, 23 April 2012
Minggu, 22 April 2012
artikel komunikasi lintas budaya
komunikasi lintas budaya
komunikasi kepentingan antar-budaya, antar-individu. Dalam pandangan Lucien Goldman, individu tragik adalah mereka yang sadar diri namun tak bisa berbuat apa-apa, tak mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik. Merujuk Goldman, sebenarnya tidak saja ... budaya tragik, politik tragik, ekonomi tragik, bahkan Indonesia yang tragik. Sebagai contoh kasus, kita terus berlomba dengan Negeria dan Banglades sebagai negara terkorup di dunia. Juga, kita adalah negara dengan jumlah pengungsi terbesar, entah ak ...
Menurut Moh Sholeh (2003) ketika pikiran dan kesadaran seseorang dipenuhi dan dirasuki dorongan untuk mengeksploitasi sumber-sumber penopang keseimbangan dan harmoni semesta, baik sumber daya ekologis berupa kekayaan alam, lebih-lebih sumber etis, moral dan spiritual, yang merupakan penyangga utama keluhuran manusia, dan terus-menerus mengumbar angkara murka, pengharapan kita akan hadirnya sifat-sifat terpuji dari akal budi yang luhur, berkorban demi kepentingan bersama, mementingkan orang lain, bagai pungguk merindukan bulan. Alih-alih berkorban demi kepentingan bersama, malahan beragam keserakahan akan mendorongnya untuk menatap nanar milik orang lain dan menunggu kelengahannya. Modus vivendi-nya bisa melalui tipu muslihat yang halus ataupun dengan cara-cara paksaan dan kekerasan, mulai dengan gendam, hipnotis, mencopet, menodong, merampas, dan merampok dengan mengancam nyawa pemiliknya.Dalam masyarakat tragik, memang kita seperti iklan cola-cola, always dicekam oleh kepungan ketakutan. Rasa aman menjadi suatu yang mahal. Nihilnya freedom from fear, kata Fromm. Padahal mestinya freedom from fear ditularkan secara massal. Entri point ke arahnya adalah dengan membangun dan membangkitkan sifat dan sikap berkorban, mementingkan orang lain, menolong yang membutuhkan, memberi yang meminta, melindungi dan memberi rasa aman bagi yang lemah, dan membebaskan pikiran dari ketakutan dan bayangan-bayangan ancaman.Jiwa rakus hanya akan melahirkan individu-individu tragik, individu yang lahir akibat hilangnya toleransi. Toleransi hilang misalnya karena kegagalan.
Menyimak Pergeseran Budaya dikalangan Remaja dan Perilaku Hedonisme dikalangan Remaja
Kalau Anda berkenan untuk sejenak berhenti dari kesibukan membuat tugas kuliah atau diskusi tentang mata kuliah, baik kalau kita menjadi lebih kritis untuk mengamati kecenderungan perilaku kaum muda remaja dewasa ini yang tentunya menarik untuk dipikirkan bersama.
Semakin pesatnya tren kapitalisme dan konglomerasi elite tertentu maka pertumbuhan kwantitatif tempat-tempat hiburan dan pusat-pusat perbelanjaan semakin berkembang bak jamur dimusim hujan. Fenomena tersebut secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi budaya dan pola hidup kaum muda remaja sekarang. Pergeseran budaya mulai menjangkiti kaum muda remaja tanpa kompromi dan eksodus besar-besaran tentang paradigma berpikir kaum muda remaja, dari budaya timur menuju budaya barat. Anda dapat melihat kaum muda remaja hedonis bersliweran dengan berbagai mode rambut dengan busana thank top atau junkies, dan alat-alat digital lainnya. Iklim masyarakat sekarang jauh berbeda dengan masyarakat tempo dulu. Namun, bila gejala ini kita telaah lebih lanjut bahwa kaum muda remaja telah jatuh kedalam euforia budaya pop. Selanjutnya kaum muda remaja yang seharusnya menjadi homo significans malahan jatuh kedalam pendangkalan nilai hidup.
Tulisan ini hanya mengajak para pembaca untuk merenungi dampak globalisasi tanpa harus terjerat ke dalam arus pendangkalan hidup post-modernisasi dan bagaimana hal tersebut tidak menggerogoti nilai-nilai positif yang menjadi warisan budaya kita.
Euforia Budaya Pop Remaja : Buah Globalisasi
Manusia harus berubah. Itulah hal yang mendasar yang perlu dipikirkan secara bersama. Memang benar bahwasannya manusia dengan segala budaya dan akal budinya harus dikembangkan seoptimal mungkin, karena akan semakin mengkokohkan kedudukannya dimuka bumi sebagai God Creature yang sempurna dibandingkan dengan ciptaan lainnya.
Kali ini, manusia beralih menuju rentang waktu yang kontradiksional dengan fase-fase sebelumnya, yaitu fase globalisasi. Di satu sisi manusia memang dituntut untuk berkembang menuju kearah yang lebih modern, baik aspek teknologi, hukum, sosial/kesejahteraan sosial, politik, demokrasi, dan semua sistem lainnya harus disempurnakan. Teknologi bidang informatika, kedokteran, bioteknologi, dan transportasi mengalami perkembangan yang begitu dahsyat mengatasi batas-batas ruang dan waktu. Namun, tidak boleh dilupakan bahwa hasil perkembangan manusia bersifat relatif dan ambivalen. Pengaruh negatif dari globalisasi adalah euforia budaya pop, perdagangan bebas, marginalisasi kaum lemah, dan timbulnya gap relation antaara si kaya dan si miskin. Hasil tersebut telah membentuk suatu budaya baru bagi masyarakat, khususnya kaum muda remaja menjadi manusia yang terjebak dalam arus budaya pop.
Penghayatan Hidup dikalanagan Remaja yang Semakin Mendangkal
Ilustrasi di awal tulisan ini hanyalah sekelumit deskrispsi yang membuktikan eksistensi kecenderungan dalam diri manusia modern. Masih banyak contoh-contoh lain sebagai hasil dari globalisasi. kaum muda remaja dewasa ini lebih suka membaca komik atau main game daripada harus membaca buku-buku bermutu. Bacaan dengan analisis mendalam dan novel-novel bermutu hanya menjadi bagian kecil dari skala prioritas mereka, bahan-bahan bacaan seperti itu hanya tersentuh jika terpaksa atau karena tuntutan akademis.
Anda dapat mengelak bahwa gejala-gejala ini merupakan bentuk adaptif dari kemajuan zaman. Tapi, itu adalah rasionalisasi. Sebenarnya, kecenderungan manusia sekarang bukan hanya sekedar masalah mengikuti perkembangan zaman melainkan hal ini adalah masalah gengsi dan penghayatan hidup.
Bukti yang paling mengena adalah televisi, berbagai acara televisi semakin hari semakin jauh dari idealisme jurnalistik, bahkan semakin melegalkan budaya kekerasan, instanisasi, dan bentuk-bentuk kriminalitas. Sebagian tayangan-tayangan tersebut hanya semakin mendangkalkan sifat afektif manusia. Tayangan mengenai bencana alam, kemiskinan, perang, kelaparan, penemuan teknologi, pembelajaran budaya, dan lain sebagainya telah membuat sisi afeksi manusia tidak peka terhadap hal tersebut. Tidak ada proses batin dan intelektual lebih lanjut. Penghayatan nilai-nilai luhur semakin tereduksi.
Eksistensi kaum muda remaja hanya ditempatkan pada pengakuan-pengakuan sementara, misalnya seorang remaja dianggap eksistensinya ada jika remaja tersebut masuk menjadi anggota geng motor, menggunakan baju-baju bermerk, menggunakan blueberry, dugem, clubbing, melakukan freesex, ngedrugs, dan lain sebagainya. Eksistensi kaum muda remaja hanya dihargai sebatas kepemilikan dan status semata. Jika pendangkalan ini terus dipelihara dan dibudidayakan dikalangan remaja kita, makna dan penghargaan terhadap insan manusia semakin jauh. Hasilnya adalah menghilangnya penghargaan terhadap manusia lainnya, misalnya: perang, pemerkosaan, komersialisasi organ tubuh, trafficking, tawuran, dll. Contoh-contoh ini menjadi indikasi kehancuran sebuah kebudayaan yang dimulai dari pergeseran nilai-nilai budaya di kalangan kaum muda remaja kita. Dampak yang sangat menyedihkan dan mengkhawatirkan.
Solusi : Internalisasi
Seperti diungkapkan sebelumnya bahwa manusia sebagai homo significans, pada hakikatnya menjadikan manusia sebagai manusia pemberi makna. Jurus paling ampuh untuk mengatasi pendangkalan hidup post-modernisasi adalah pengendapan atau internalisasi. Internalisasi merupakan proses memaknai kembali makna-makna hidup. Makna hidup yang tadinya dihargai secara dangkal, kali ini digali dan diselami.
Ada dua metode internalisasi yang ditawarkan, yaitu budaya refleksi dan keheningan. Keduanya saling komplementer dan tidak dapat dipisahkan jika hendak melawan arus budaya pop. Refleksi membutuhkan suasana hening. Keheningan jiwa dapat tercapai saat berefleksi. Secara etimologis, refleksi berasal dari verbum compositum bahasa Latin re-flectere, artinya antara lain, memutar balik, memalingkan, mengembalikan, memantulkan, dan memikirkan. Kiranya, dua arti terakhir yang cocok untuk mendefinisikan refleksi dalam kerangka permenungan ini. Refleksi adalah usaha untuk melihat kembali sesuatu secara mendalam dengan menggunakan pikiran dan afeksi hingga dapat menemukan nilai yang mulia yang selanjutnya dapat digunakan sebagai bekal hidup. Euforia budaya pop di masa globalisasi menawarkan begitu banyak hal yang hanya berakhir menjadi kesan-kesan tanpa satupun yang dapat dialami. Dengan budaya refleksi, kesan-kesan tersebut dapat diendapkan. Secara satu persatu pengalaman negatif maupun positif dapat dianalisis, dipertimbangkan, disimpulkan, dan akhirnya diendapkan dalam nurani. Proses inilah yang membuat kaum muda remaja dapat menyadari baik dan buruknya suatu sikap. Dalam proses ini juga kaum muda remaja diajak untuk menindaklanjuti berbagai pengalaman yang didapat, sehingga muncul nilai-nilai dari setiap kejadian yang dialami, dan tentunya nilai tersebut dapat menjadi bekal hidup selanjutnya.
Peran refleksi dalam kerangka ini juga sebagai nabi, untuk mengingatkan segala larangan ataupun perintah Tuhan yang diajarkan. Refleksi berperan menjadi fungsi kritis dalam diri kaum muda remaja. Saat ia mengalami pendangkalan nilai-nilai hidup dalam bentuk pragmatisme, konformitas buta dan sebagainya. Refleksi menunjukkan kesalahannya, dan mengarahkan kepada yang benar.
Oleh karena itu kita sebagai kaum muda remaja harus mampu merubah diri kita menjadi manusia yang bermakna bagi orang lain melalui sikap dan perilaku sehari-hari. Usaha ini hanya bisa tercapai melalui usaha pribadi bukan orang lain, ada pepatah mengatakan jangan mengubah orang lain sebelum bisa mengubah diri sendiri. Selamat berefleksi wahai para remaja ... !
komunikasi kepentingan antar-budaya, antar-individu. Dalam pandangan Lucien Goldman, individu tragik adalah mereka yang sadar diri namun tak bisa berbuat apa-apa, tak mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik. Merujuk Goldman, sebenarnya tidak saja ... budaya tragik, politik tragik, ekonomi tragik, bahkan Indonesia yang tragik. Sebagai contoh kasus, kita terus berlomba dengan Negeria dan Banglades sebagai negara terkorup di dunia. Juga, kita adalah negara dengan jumlah pengungsi terbesar, entah ak ...
Menurut Moh Sholeh (2003) ketika pikiran dan kesadaran seseorang dipenuhi dan dirasuki dorongan untuk mengeksploitasi sumber-sumber penopang keseimbangan dan harmoni semesta, baik sumber daya ekologis berupa kekayaan alam, lebih-lebih sumber etis, moral dan spiritual, yang merupakan penyangga utama keluhuran manusia, dan terus-menerus mengumbar angkara murka, pengharapan kita akan hadirnya sifat-sifat terpuji dari akal budi yang luhur, berkorban demi kepentingan bersama, mementingkan orang lain, bagai pungguk merindukan bulan. Alih-alih berkorban demi kepentingan bersama, malahan beragam keserakahan akan mendorongnya untuk menatap nanar milik orang lain dan menunggu kelengahannya. Modus vivendi-nya bisa melalui tipu muslihat yang halus ataupun dengan cara-cara paksaan dan kekerasan, mulai dengan gendam, hipnotis, mencopet, menodong, merampas, dan merampok dengan mengancam nyawa pemiliknya.Dalam masyarakat tragik, memang kita seperti iklan cola-cola, always dicekam oleh kepungan ketakutan. Rasa aman menjadi suatu yang mahal. Nihilnya freedom from fear, kata Fromm. Padahal mestinya freedom from fear ditularkan secara massal. Entri point ke arahnya adalah dengan membangun dan membangkitkan sifat dan sikap berkorban, mementingkan orang lain, menolong yang membutuhkan, memberi yang meminta, melindungi dan memberi rasa aman bagi yang lemah, dan membebaskan pikiran dari ketakutan dan bayangan-bayangan ancaman.Jiwa rakus hanya akan melahirkan individu-individu tragik, individu yang lahir akibat hilangnya toleransi. Toleransi hilang misalnya karena kegagalan.
ASPEK ASPEK KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
A. Utamakan yang Terpenting
Ada dua hal penting yang perlu kita pelajari agar
berhasil menginjili siapa pun, khususnya kelompok mayoritas. Tanpa kedua
hal ini, usaha kita akan sia-sia. Pertama adalah hidup yang kudus, dan
yang kedua adalah doa dan kepercayaan yang teguh bahwa Allah masih
melakukan mukjizat guna meneguhkan kebenaran Injil.
Hidup yang Kudus
Penginjilan yang berhasil tidak pernah bergantung
pada perdebatan yang hebat atau teknik-teknik yang diterapkan secara
sempurna. Berpikir dan belajar bagaimana memberitakan Injil secara lebih
baik tetap merupakan hal yang penting. Walaupun demikian, betapa pun
menariknya kesaksian kita kepada kelompok mayoritas, kesaksian kita ini
tidak akan berguna jika hidup kita tidak mencerminkan kepribadian
Kristus. Hal itu seperti menghidangkan makan malam yang lezat di piring
yang kotor. Saksi Kristus yang tidak hidup kudus mungkin akan lebih
banyak merugikan daripada menguntungkan perluasan pemberitaan Injil.
Saya kenal seorang laki-laki yang senang berbicara
tentang Yesus dan Injil dengan siapa saja yang mau mendengar. Dia
memandang dirinya sendiri sebagai pengkhotbah dan penginjil, namun dia
sudah menikah beberapa kali. Baru-baru ini saya melihat dia bersama
wanita lain yang bukan istrinya. Orang itu tidak memiliki kesaksian yang
baik di lingkungannya; dia dianggap orang munafik. Demikian pula dengan
orang yang tidak mau meminjamkan uang kepada orang yang sedang
membutuhkan pinjaman. Demikian pula dengan orang yang gampang marah,
orang yang tidak membayar hutangnya, atau yang suka berbohong. Hidup
orang seperti itu tidak membangkitkan rasa hormat dari orang-orang yang
tidak percaya. Bagaimana mereka dapat memercayai Injil dari mulutnya?
Apakah kita harus sempurna dahulu baru kita berhak
menginjil? Tentu saja tidak. Yang kita perlukan ialah menjadi semakin
serupa dengan Yesus. Kita tidak dapat membenarkan gaya hidup yang
terang-terangan melanggar perintah Allah. Sebaliknya, orang yang belum
percaya harus melihat adanya kualitas-kualitas yang baik pada
pengikut-pengikut Kristus. Orang-orang percaya mungkin tidak menyadari
bahwa kualitas-kualitas ini diperhatikan oleh orang lain. Walaupun
demikian, Allah sendiri bekerja di dalam diri kita untuk mengubah kita
menjadi orang-orang yang lebih baik. Kalau kita mengabaikan dosa yang
ditunjukkan Allah dalam hidup kita, kita tidak akan dapat menjadi
saksi-Nya yang berguna. Allah telah menciptakan kita sebagai bejana yang
kudus (2 Korintus 4:7). Kita telah dikuduskan untuk membawa Injil
kepada orang-orang yang belum mendengarnya. Hal ini tidak mungkin dapat
dilakukan kalau kita tidak meneladani Yesus. Kita masing-masing harus
berusaha mengenal Allah dan hidup dalam kekudusan-Nya. Hal itu harus
menjadi tujuan yang paling penting dalam kehidupan kita. Dengan
demikian, Dia akan memakai kita.
Berdoa untuk Mukjizat
Penginjilan merupakan bagian dari peperangan rohani
yang besar. Sebelum masuk dalam peperangan, tentara-tentara harus
memiliki senjata yang tepat dan ampuh. Paulus mendaftarkan senjata yang
kita butuhkan dalam Efesus 6. Ketika semua senjata itu sudah siap untuk
dipakai dan semua tentara itu sudah siap untuk berperang, Paulus berkata
itulah waktunya untuk berdoa. Maksudnya, doa adalah tempat untuk
menghadapi musuh. Medan peperangan ada di dalam doa. Kita diberitahu
bahwa doa orang yang benar sangat berkuasa dan efektif (Yakobus 5:16).
Kebenaran adalah perkara menaati Allah dan hidup dalam kekudusan, maka
di dalam doa kita dapat mengatasi perlawanan musuh.
Sebelum kita mulai bersaksi, kita harus berdoa untuk
orang yang tersesat, supaya mata mereka tercelik dan hati mereka
terbuka. Kita berdoa untuk seluruh keluarga dan tetangga supaya mereka
beriman kepada Kristus. Kita berdoa supaya Allah menyadarkan mereka
bahwa mereka membutuhkan keselamatan dan hal-hal yang kekal. Kita berdoa
melawan kuasa-kuasa kegelapan yang mengikat seluruh kelompok orang itu.
Ketika Roh Allah berjalan di depan kita, maka kita pergi memberitakan
Injil. Ketika kita berdoa, kita tahu bahwa Roh sedang bekerja. Dia
memakai doa kita untuk menghancurkan benteng-benteng kejahatan (2
Korintus 10:4). Usaha kita yang terpenting harus terpusat pada doa.
Orang yang terbeban untuk memberitakan Injil kepada
kelompok mayoritas sering bergumul dalam upaya menemukan kunci yang
tepat untuk membuka hati orang-orang yang belum percaya. Tetapi dari
pengalaman, kita melihat bahwa hal tersebut tidak sesederhana itu. Siapa
pun yang pernah berusaha membuka gembok yang sudah karatan tahu bahwa
gembok itu tidak mudah dibuka, sekalipun dengan kunci yang tepat. Jika
gembok itu sudah lama tidak dibuka, mungkin diperlukan pelumas. Pelumas
untuk membuka kunci hati dan pikiran orang-orang adalah minyak roh. Roh
Allah bekerja membuka hati mereka ketika kita berdoa dan terus mencoba
kunci Injil.
Salah satu doa yang paling dinamis ditemukan dalam
Kisah Para Rasul 4:23-31. Saat itu murid-murid diancam karena
mengabarkan Injil. Allah telah meneguhkan kebenaran pemberitaan mereka
dengan menyembuhkan seorang yang lumpuh. Petrus dan Yohanes memimpin
jemaat itu dalam doa supaya Allah menolong mereka, dan supaya mereka
tetap berani walaupun ada ancaman dari para pemimpin Yahudi. Lebih jauh
lagi, mereka meminta Allah untuk terus mengadakan mukjizat demi
menyatakan kebenaran Injil Yesus Kristus. Allah berkali-kali mengabulkan
doa itu melalui banyak tanda dan berbagai keajaiban. Dan mereka terus
menginjili.
Allah masih melakukan mukjizat sampai saat ini.
Tetapi, keajaiban-keajaiban itu bukan hal utama untuk menguatkan kita
yang sudah percaya. Memang kita akan menjadi semakin bersemangat ketika
melihat Allah bekerja dengan cara yang luar biasa, namun kita memiliki
firman Allah dan janji-janji-Nya untuk menguatkan kita. Allah memakai
tanda-tanda dan keajaiban, khususnya untuk meneguhkan Injil kepada
orang-orang yang akan percaya. Saat ini Allah memberi mimpi dan
penglihatan kepada mereka yang mencari Dia. Orang-orang disembuhkan dan
dijamah Allah dengan cara-cara yang luar biasa. Kita harus berdoa supaya
Allah mengadakan tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban untuk meneguhkan
kesaksian kita kepada teman-teman dan keluarga kita yang beragama lain.
Allah mungkin memakai mukjizat untuk membawa mereka yang Anda kenal
kepada Kristus. Karena itu, berdoalah supaya Allah mengadakan
tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban. Allah ingin menjawab doa yang
seperti itu supaya dunia ini dipenuhi oleh pengetahuan akan
kemuliaan-Nya (Habakuk 2:14).
Pendekatan yang Alkitabiah
Pendekatan yang alkitabiah untuk menyampaikan Kabar
Baik ialah hidup berdampingan dengan orang-orang yang belum
mendengarnya, kemudian ceritakan Injil kepadanya. Yesus memakai cara ini
di jalan ke Emaus (Lukas 24:13-35). Dia berjalan berdampingan dengan 2
orang yang sedang berbicara tentang arti penyaliban Yesus dan tentang
kebangkitan-Nya. Dia ikut berbicara dengan mereka. Dia mengarahkan
percakapan mereka pada pesan nabi-nabi di dalam firman Allah. Beberapa
waktu kemudian, mereka mengerti apa yang Yesus jelaskan kepada mereka.
Begitulah cara Yesus berkomunikasi dari waktu ke waktu. Filipus,
melakukan hal yang serupa (Kisah Para Rasul 8:26-40). Allah memanggil
dia untuk pergi ke padang gurun dekat Gaza. Ketika sedang berjalan,
Filipus mendekati seseorang yang berada di dalam kereta. Maka, Filipus
berlari mendekatinya. Orang itu sedang membaca dari kitab Nabi Yesaya
dan memunyai beberapa pertanyaan. Dia mengundang Filipus untuk naik ke
keretanya. Filipus mengambil kesempatan itu untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan orang tersebut. Lalu dia mengarahkan percakapan
itu kepada Kabar Baik. Seperti Yesus, Filipus secara harfiah telah
berjalan berdampingan dengan orang yang diinjili olehnya.
Kita tidak harus berjalan bersama seseorang setiap
kali kita memberitakan Injil. Namun secara kiasan, aturan yang sama
tetap berlaku. Kita harus berusaha berjalan ke arah yang sama dengan
arah orang itu. Kita melakukan hal itu sambil berusaha mengetahui
bagaimana dia berpikir. Kita harus memasuki dialog (percakapan dua arah)
dengan dia, bukan monolog (percakapan satu arah) atau memberi ceramah.
Cobalah untuk mendengarkan mereka terlebih dahulu. Berusahalah untuk
mengerti keadaan mereka. Anggaplah diri Anda sendiri sebagai seseorang
yang sedang belajar memahami posisi orang lain. Setelah Anda
mendengarkan dan mengerti, maka Injil kebenaran Allah akan dapat Anda
ungkapkan secara lebih tepat. Di samping itu berjalanlah dengan wajar,
jangan tergesa-gesa. Kadang-kadang itu merupakan perjalanan yang
panjang. Jarak dari Yerusalem ke Emaus lebih dari 11 kilometer. Bahkan,
Yesus pun perlu menempuh setiap langkah dalam perjalanan yang panjang
itu untuk meyakinkan kedua orang itu yang sebelumnya sudah pernah
mendengar Dia berbicara berhadapan muka dengan mereka. Tujuannya adalah
untuk menyampaikan kebenaran Injil kepada teman-teman kita dengan lembut
dan perlahan.
Mungkin ilustrasi berikut ini akan memperjelas apa
yang dimaksudkan dengan berjalan berdampingan. Bayangkan sebuah kereta
kuda yang berlari kencang tanpa kusir ke arah Anda. Apakah Anda akan
berusaha menghentikannya langsung dari depan? Jika Anda melakukan hal
itu, Anda mungkin akan mendapati diri Anda terbaring di rumah sakit atau
lebih buruk lagi daripada itu. Anda akan berhasil jika Anda berlari
berdampingan dengan kuda itu dan berusaha menangkap tali kendalinya
untuk memperlambat derap kuda itu. Lalu Anda dapat menghentikannya atau
membelokkannya ke arah yang benar.
B. Diperlukan Waktu
Proses menceritakan Kabar Baik kepada mereka yang
belum pernah mendengarnya memerlukan waktu yang tidak sedikit. Jarang
sekali ada orang yang langsung beriman setelah mendengar Injil untuk
pertama kali atau untuk kedua kalinya. Lebih jarang lagi ada orang yang
langsung beriman setelah mendengar Injil dari orang yang tidak dikenal
olehnya. Yesus sendiri menunjukkan bahwa diperlukan waktu untuk
berbincang-bincang dengan satu sama lain. Dia meninggalkan surga selama
30 tahun lebih untuk melakukan hal itu. Kedatangan-Nya kepada kita dan
kesediaan-Nya meluangkan waktu bersama kita merupakan hal yang penting
bagi kita. Dengan demikian, kita dapat lebih mengerti tentang Kerajaan
Allah. Hal itu penting bagi keselamatan kita. Orang-orang Kristen perlu
mengikuti teladan Yesus; mereka perlu pergi kepada orang-orang yang
belum mendengar Injil. Kalau tidak demikian, dengan cara bagaimana
orang-orang itu akan mendengar Injil (Roma 10;14-17)? Jarang sekali
mereka datang kepada kita. Kitalah yang harus pergi kepada mereka.
Memang hal itu merupakan proses yang panjang dan melelahkan. Waspadalah
terhadap cara-cara penginjilan yang cepat dan mudah.
Gaya Hidup yang Terbuka
Jadi, berapa banyak waktu yang diperlukan? Apakah
cukup kalau kita berkunjung sekali seminggu selama 1 atau 2 jam? Jika
waktu kita bersama orang-orang yang belum percaya itu dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya, dan jika kita menggunakan cara-cara yang kreatif,
bukankah itu cukup?
Tentu hal itu sangat baik. Program kunjungan yang
dilakukan gereja hampir selalu menghasilkan sesuatu yang baik bagi
gereja. Jika pelayanan kita kepada Allah di bidang lainnya dapat
ditingkatkan dengan adanya perencanaan dan daya cipta, demikian pula di
bidang penginjilan. Walaupun demikian, untuk menjangkau orang-orang yang
tersesat, kita harus menyediakan cukup banyak waktu, dan itu akan
menuntut seluruh waktu kita. Hal itu dimulai dengan kesediaan untuk
melakukan apa saja yang diperlukan untuk membawa orang yang tersesat
kepada Kristus. Inilah yang dimaksudkan Paulus ketika dia berkata, "Bagi
semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat
mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka" (1 Korintus
9:22). Penyerahan diri secara menyeluruh seperti itu sulit dilaksanakan
kalau kita dibatasi oleh jadwal atau rencana. Jadwal dan rencana memang
sangat penting dan berguna, tetapi waktu yang diperlukan untuk
menjangkau orang yang tersesat adalah waktu untuk saling berbagi
kehidupan.
Sama seperti yang dilakukan Yesus, kita harus
berjalan bersama teman-teman kita, makan bersama mereka, bertemu mereka
di tempat kerja, bahkan bergadang sambil mengobrol bersama mereka. Kita
harus rela berbagi semua aspek kehidupan. Semua waktu kita harus
diserahkan ke bawah pengendalian Roh Kudus. Dengan demikian Allah dapat
memakai kita untuk menjangkau orang-orang yang tersesat. Itu merupakan
gaya hidup pelayanan yang mencakup segalanya.
Teman-teman saya menilai orang berdasarkan apakah dia
mudah bergaul/terbuka atau tidak. Mereka menilai orang yang terbuka
sebagai teman dan orang yang berharga. Orang-orang yang tidak terbuka
dianggap sombong dan tidak ramah. Bila kita memahami hal itu, maka kita
memunyai kesempatan untuk memberitakan Injil. Teman-teman kita ingin
agar kita bersikap terbuka dan ramah setiap saat. Keramahan seperti ini
merupakan alat yang dapat kita gunakan untuk memberitahu mereka tentang
kebenaran Allah. Banyak orang Kristen hanya mengenal sedikit sekali
orang yang non-Kristen. Jika ada waktu luang, itu sering dipakai untuk
kegiatan gereja. Gaya hidup Kristen kita yang padat dengan kesibukan
hanya menyisihkan sedikit waktu bagi orang-orang yang tidak mengenal
Kristus. Hubungan kita dengan orang-orang yang tersesat begitu jauh dan
tidak ramah. Atau mungkin kita sama sekali tidak memunyai hubungan
dengan mereka. Apa yang akan dikatakan Yesus kepada kita tentang hal
itu? Yesus adalah orang yang terbuka, yang suka meluangkan waktu dengan
orang-orang yang perlu mendengar Kabar Baik. Jika Dia hidup pada zaman
sekarang, dan menghadapi apa yang kita hadapi, apakah sikap dan
perbuatan-Nya akan berbeda dari kita?
Kalau Anda berkenan untuk sejenak berhenti dari kesibukan membuat tugas kuliah atau diskusi tentang mata kuliah, baik kalau kita menjadi lebih kritis untuk mengamati kecenderungan perilaku kaum muda remaja dewasa ini yang tentunya menarik untuk dipikirkan bersama.
Semakin pesatnya tren kapitalisme dan konglomerasi elite tertentu maka pertumbuhan kwantitatif tempat-tempat hiburan dan pusat-pusat perbelanjaan semakin berkembang bak jamur dimusim hujan. Fenomena tersebut secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi budaya dan pola hidup kaum muda remaja sekarang. Pergeseran budaya mulai menjangkiti kaum muda remaja tanpa kompromi dan eksodus besar-besaran tentang paradigma berpikir kaum muda remaja, dari budaya timur menuju budaya barat. Anda dapat melihat kaum muda remaja hedonis bersliweran dengan berbagai mode rambut dengan busana thank top atau junkies, dan alat-alat digital lainnya. Iklim masyarakat sekarang jauh berbeda dengan masyarakat tempo dulu. Namun, bila gejala ini kita telaah lebih lanjut bahwa kaum muda remaja telah jatuh kedalam euforia budaya pop. Selanjutnya kaum muda remaja yang seharusnya menjadi homo significans malahan jatuh kedalam pendangkalan nilai hidup.
Tulisan ini hanya mengajak para pembaca untuk merenungi dampak globalisasi tanpa harus terjerat ke dalam arus pendangkalan hidup post-modernisasi dan bagaimana hal tersebut tidak menggerogoti nilai-nilai positif yang menjadi warisan budaya kita.
Euforia Budaya Pop Remaja : Buah Globalisasi
Manusia harus berubah. Itulah hal yang mendasar yang perlu dipikirkan secara bersama. Memang benar bahwasannya manusia dengan segala budaya dan akal budinya harus dikembangkan seoptimal mungkin, karena akan semakin mengkokohkan kedudukannya dimuka bumi sebagai God Creature yang sempurna dibandingkan dengan ciptaan lainnya.
Kali ini, manusia beralih menuju rentang waktu yang kontradiksional dengan fase-fase sebelumnya, yaitu fase globalisasi. Di satu sisi manusia memang dituntut untuk berkembang menuju kearah yang lebih modern, baik aspek teknologi, hukum, sosial/kesejahteraan sosial, politik, demokrasi, dan semua sistem lainnya harus disempurnakan. Teknologi bidang informatika, kedokteran, bioteknologi, dan transportasi mengalami perkembangan yang begitu dahsyat mengatasi batas-batas ruang dan waktu. Namun, tidak boleh dilupakan bahwa hasil perkembangan manusia bersifat relatif dan ambivalen. Pengaruh negatif dari globalisasi adalah euforia budaya pop, perdagangan bebas, marginalisasi kaum lemah, dan timbulnya gap relation antaara si kaya dan si miskin. Hasil tersebut telah membentuk suatu budaya baru bagi masyarakat, khususnya kaum muda remaja menjadi manusia yang terjebak dalam arus budaya pop.
Penghayatan Hidup dikalanagan Remaja yang Semakin Mendangkal
Ilustrasi di awal tulisan ini hanyalah sekelumit deskrispsi yang membuktikan eksistensi kecenderungan dalam diri manusia modern. Masih banyak contoh-contoh lain sebagai hasil dari globalisasi. kaum muda remaja dewasa ini lebih suka membaca komik atau main game daripada harus membaca buku-buku bermutu. Bacaan dengan analisis mendalam dan novel-novel bermutu hanya menjadi bagian kecil dari skala prioritas mereka, bahan-bahan bacaan seperti itu hanya tersentuh jika terpaksa atau karena tuntutan akademis.
Anda dapat mengelak bahwa gejala-gejala ini merupakan bentuk adaptif dari kemajuan zaman. Tapi, itu adalah rasionalisasi. Sebenarnya, kecenderungan manusia sekarang bukan hanya sekedar masalah mengikuti perkembangan zaman melainkan hal ini adalah masalah gengsi dan penghayatan hidup.
Bukti yang paling mengena adalah televisi, berbagai acara televisi semakin hari semakin jauh dari idealisme jurnalistik, bahkan semakin melegalkan budaya kekerasan, instanisasi, dan bentuk-bentuk kriminalitas. Sebagian tayangan-tayangan tersebut hanya semakin mendangkalkan sifat afektif manusia. Tayangan mengenai bencana alam, kemiskinan, perang, kelaparan, penemuan teknologi, pembelajaran budaya, dan lain sebagainya telah membuat sisi afeksi manusia tidak peka terhadap hal tersebut. Tidak ada proses batin dan intelektual lebih lanjut. Penghayatan nilai-nilai luhur semakin tereduksi.
Eksistensi kaum muda remaja hanya ditempatkan pada pengakuan-pengakuan sementara, misalnya seorang remaja dianggap eksistensinya ada jika remaja tersebut masuk menjadi anggota geng motor, menggunakan baju-baju bermerk, menggunakan blueberry, dugem, clubbing, melakukan freesex, ngedrugs, dan lain sebagainya. Eksistensi kaum muda remaja hanya dihargai sebatas kepemilikan dan status semata. Jika pendangkalan ini terus dipelihara dan dibudidayakan dikalangan remaja kita, makna dan penghargaan terhadap insan manusia semakin jauh. Hasilnya adalah menghilangnya penghargaan terhadap manusia lainnya, misalnya: perang, pemerkosaan, komersialisasi organ tubuh, trafficking, tawuran, dll. Contoh-contoh ini menjadi indikasi kehancuran sebuah kebudayaan yang dimulai dari pergeseran nilai-nilai budaya di kalangan kaum muda remaja kita. Dampak yang sangat menyedihkan dan mengkhawatirkan.
Solusi : Internalisasi
Seperti diungkapkan sebelumnya bahwa manusia sebagai homo significans, pada hakikatnya menjadikan manusia sebagai manusia pemberi makna. Jurus paling ampuh untuk mengatasi pendangkalan hidup post-modernisasi adalah pengendapan atau internalisasi. Internalisasi merupakan proses memaknai kembali makna-makna hidup. Makna hidup yang tadinya dihargai secara dangkal, kali ini digali dan diselami.
Ada dua metode internalisasi yang ditawarkan, yaitu budaya refleksi dan keheningan. Keduanya saling komplementer dan tidak dapat dipisahkan jika hendak melawan arus budaya pop. Refleksi membutuhkan suasana hening. Keheningan jiwa dapat tercapai saat berefleksi. Secara etimologis, refleksi berasal dari verbum compositum bahasa Latin re-flectere, artinya antara lain, memutar balik, memalingkan, mengembalikan, memantulkan, dan memikirkan. Kiranya, dua arti terakhir yang cocok untuk mendefinisikan refleksi dalam kerangka permenungan ini. Refleksi adalah usaha untuk melihat kembali sesuatu secara mendalam dengan menggunakan pikiran dan afeksi hingga dapat menemukan nilai yang mulia yang selanjutnya dapat digunakan sebagai bekal hidup. Euforia budaya pop di masa globalisasi menawarkan begitu banyak hal yang hanya berakhir menjadi kesan-kesan tanpa satupun yang dapat dialami. Dengan budaya refleksi, kesan-kesan tersebut dapat diendapkan. Secara satu persatu pengalaman negatif maupun positif dapat dianalisis, dipertimbangkan, disimpulkan, dan akhirnya diendapkan dalam nurani. Proses inilah yang membuat kaum muda remaja dapat menyadari baik dan buruknya suatu sikap. Dalam proses ini juga kaum muda remaja diajak untuk menindaklanjuti berbagai pengalaman yang didapat, sehingga muncul nilai-nilai dari setiap kejadian yang dialami, dan tentunya nilai tersebut dapat menjadi bekal hidup selanjutnya.
Peran refleksi dalam kerangka ini juga sebagai nabi, untuk mengingatkan segala larangan ataupun perintah Tuhan yang diajarkan. Refleksi berperan menjadi fungsi kritis dalam diri kaum muda remaja. Saat ia mengalami pendangkalan nilai-nilai hidup dalam bentuk pragmatisme, konformitas buta dan sebagainya. Refleksi menunjukkan kesalahannya, dan mengarahkan kepada yang benar.
Oleh karena itu kita sebagai kaum muda remaja harus mampu merubah diri kita menjadi manusia yang bermakna bagi orang lain melalui sikap dan perilaku sehari-hari. Usaha ini hanya bisa tercapai melalui usaha pribadi bukan orang lain, ada pepatah mengatakan jangan mengubah orang lain sebelum bisa mengubah diri sendiri. Selamat berefleksi wahai para remaja ... !
artikel komunikasi politik
Komunikasi Politik Orde Reformasi
I. PENDAHULUAN
Sejalan
dengan perkembangan politik yang mendadak dengan mundurnya Presiden
Soeharto pada 21 Mei perubahan dalam cara berkomunikasi pun mengalami
pergeseran. Lihat misalnya, cara Pak Harto berkomunikasi dengan para
menteri dan massa berbeda dengan Presiden BJ Habibie. Ini menunukkan
sebuah cara berkomunikasi yang berbeda satu sama lain meski memiliki
ciri, tujuan dan sasaran yang sama.
Dengan
bertolak dari fenomena itu, tulisan ini akan memfokuskan diri pada
proses komunikasi politik era Orde Baru. Kemudian dilanjutkan dengan
karakter komunikasi politik yang muncul pada era Orde Reformasi yang
baru berusia tiga bulan. Selanjutnya akan dilihat sesungguhnya dalam
sebuah komunikasi politik apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dari para
pejabat yang menyampaikan kebijakannya baik melalui media massa atau
langsung. Namun sebelum itu ada baiknya kita menengok bagaimana kerangka
pemikiran ilmuwan sosial terhadap komunikasi politik ini.
II. KERANGKA TEORITIS
Menurut
Gabriel Almond, semua bentuk interaksi manusia melibatkan komunikasi.
Media massa seperti televisi, radio, surat kabar dan majalah ikut
mempengaruhi struktur komunikasi dalam masyarakat. Almond membedakan
empat struktur komunikasi.
Pertama,
kontak tatap muka informal yang muncul terpisah dari struktur
masyarakat. Kedua, struktur sosial tradisional seperti hubungan keluarga
dan keagamaan. Ketiga, struktur politik “output” (keluaran) seperti
legislatif dan birokrasi. Keempat, struktur “input” (masukan) termasuk
misalnya serikat buruh dan kelompok kepentingan dan partai-partai
politik. Kelima, media massa.
Almond menilai, kontak informal dalam sistem politik manapun tidak bisa disepelekan. Riset ilmuwan sosial telah membuktikan bahwa
saluran informal menjadi sistem komunikasi paling berkembang. Ia
menyebutkan, studi media massa dan opini publik, Katz dan Lazarsfled
(1955) menemukan bahwa media massa tidak membuat pengaruh langsung atas
kebanyakan individu.
Mochtar
Pabotinggi (1993) menguraikan dalam prosesnya komunikasi politik sering
mengalami empat distoris. Pertama, distoris bahasa sebagai topeng. Ia
memberikan contohnya dengan melihat bagaimana orang mengatakan alis
“bagai semut beriring” atau bibir “bak delima merekah”. Uraian itu
menunjukkan sebuah euphemisme.
Oleh
sebab itulah, bahasa yang menampilkan sesuatu lain dari yang
dimaksudkan atau berbeda dengan situasi sebenarnya, bisa disebut seperti
diungkakan Ben Anderson (1966), “bahasa topeng”.
Kedua,
distorsi bahasa sebagai proyek lupa. Manusia makhluk yang memang
pelupa. Namun demikian dalam konteks politik kita membicarakan lupa
sebagai sesuatu yang dimanipulasikan. Ternyata seperti diulas
Pabottinggi, “lupa dapat diciptakan dan direncanakan bukan hanya atas
satu orang, melainkan atas puluhan bahkan ratusan juta orang.”
Selanjutnya Pabottinggi membuat pendapat lebih jauh bahwa dengan mengalihkan perhatian seorang atau ratusan juta orang, maka
massa bisa lupa. Bahkan lupa bisa diperpanjang selama dikehendaki manipulator. Di sini tampak distorsi komunikasi ini bisa parah jika sebuah rejim menghendaki rakyatnya melupakan sejarah atau membuat sejarah sendiri untuk melupakan sejarah pemerintahan sebelumnya.
massa bisa lupa. Bahkan lupa bisa diperpanjang selama dikehendaki manipulator. Di sini tampak distorsi komunikasi ini bisa parah jika sebuah rejim menghendaki rakyatnya melupakan sejarah atau membuat sejarah sendiri untuk melupakan sejarah pemerintahan sebelumnya.
Distorsi
ketiga adalah, distorsi bahasa sebagai representasi. Jika dalam
distoris topeng keadaan sebenarnya ditutupi dan dalam distorsi lupa
berbicara soal pengalihan sesuatu, maka distorsi ketiga ini terjadi bila
kita melukiskan sesuatu tidak sebagaimana mestinya.
Pabottinggi
memberi contoh bagaimana gambaran buruk yang menimpa kaum Muslimin dan
orang Arab oleh media Barat. Dunia Islam, seperti disebutkan Edward Said
(1978) selalu dipandang sebagai lawan Barat. Dalam
politik nasional pun, suatu kelompok yang jadi lawan politik rejim
berkuasa sering dilukiskan sebagai penyeleweng, penganut aliran sesat
dan tidak memakmurkan rakyat.
Yang
terakhir adalah distorsi bahasa sebagai ideologi. Distorsi keempat
inilah yang paling berbahaya. Sedikitnya dua alasan mengapa distorsi
ideologi itu rawan. Pertama, setiap ideologi pada dasarnya memang sudah
bersifat distortif. Kedua, distorsi ideologi sangat lihai menggunakan
ketiga jenis distorsi lainnya.
Kita
lihat mengapa sangat berbahaya. Ada dua perspektif yang cenderung
menyebarkan distoris ideologi. Pertama, perspektif yang mengidentikkan
kegiatan politik sebagai hak istimewa sekelompok orang. Perspektif ini
menekankan hanya penguasalah yang berhak menentukan mana yang politik
dan mana yang bukan. Oleh sebab itu nantinya akan berakhir dengan monopoli
politik kelompok tertentu. Kedua, perspektif yang semata-mata
menekankan tujuan tertinggi suatu sistem politik.Mereka yang menganut
perspektif ini hanya menitikberatkan pada tujuan tertinggi sebuah sistem
politik tanpa mempersoalkan apa yang sesungguhnya dikehendaki rakyat.
III. ERA ORDE BARU
Dari
keempat struktur komunikasi dari Almond tu jelas bahwa jika diterapkan
di Indonesia maka memang benar hubungan komunikasi pribadi lebih
menentukan dibandingkan dengan saluran komunikasi formal. Kemacetan yang
dialami sistem politik Indonesia saat itu menunjukkan bahwa pada
akhirnya komunikasi antar partai politik yang mendudukkan wakilnya di
DPR/MPR tak lagi bisa menampung aspirasi rakyat.
Contoh yang paling lengkap adalah bagaimana kekuasaan politik
Indonesia pada masa terakhir Orde Baru berpusat pada presiden. Seluruh proses komunikasi sistem politik Indonesia akhirnya tergantung pada satu tangan, presiden. Badan legislatif tidak lagi berfungsi sebagai suara rakyat tetapi tak lain hanya mendukung presiden. Kritik yang terlalu keras dilontarkan oleh anggota DPR/MPR akan berakhir dengan pemberhentikan tidak hormat. Kasus Sri Bintang Pamungkas menunjukkan bagaimana monopoli komunikasi itu tidak boleh lepas sedikitpun ketika anggota DPR itu sangat vokal dan kritis.
Indonesia pada masa terakhir Orde Baru berpusat pada presiden. Seluruh proses komunikasi sistem politik Indonesia akhirnya tergantung pada satu tangan, presiden. Badan legislatif tidak lagi berfungsi sebagai suara rakyat tetapi tak lain hanya mendukung presiden. Kritik yang terlalu keras dilontarkan oleh anggota DPR/MPR akan berakhir dengan pemberhentikan tidak hormat. Kasus Sri Bintang Pamungkas menunjukkan bagaimana monopoli komunikasi itu tidak boleh lepas sedikitpun ketika anggota DPR itu sangat vokal dan kritis.
Jamie Mackie dan Andrew MacIntyre (1994),
melukiskan perkembangan struktur kekuasaan Orde Baru yang mencakup
didalamnya monopoli komunikasi politik. Mereka membagi tiga fase dalm
iklim politik Orde Baru. Fase pertama, 1965-1974 ditandai dengan
atmosfir terbuka, kompetitif dan partisipasi rakyat yang tinggi. Bahkan
ekspresi politik masyarakat pun relatif bebas. Di sinilah bulan madu
komunikasi politik di Indonesia terjadi. Rakyat dengan bebas mengkritik
pemerintahan lama, Orde Lama, karena kegagalannya membendung komunis dan
merebaknya kemiskinan. Masa awal ini mirip seperti terjadi di era
reformasi saat ini dimana ekspresi itu tertuang dalam media massa dan
pembentukan partai politik yang jumlahnya saat ini lebih dari 50 partai.
Periode
kedua 1974-1983 dimulainya pengawasan terhadap komunikasi politik
dimana aktivitas politik, pers dan pernyataan masyarakat mulai dibatasi.
Dan pada fase 1983-1990, kontrol sosial sangat ketat yang harus
disesuaikan dengan ideologi yang dikukuhkan lewat P4 dan asas tunggal.
Boleh ditambahkan di sini pada periode 1990-1998, monopoli politik yang
sudah sedemikian ketatnya berangsur-angsur mendapat perlawanan sehingga
akibat gelombang demokratisasi di dunia lahirlah apa yang disebut
keterbukaan. Monopoli komunikasi tidak lagi dipegang negara tapi mulai
diimbangi bahkan dirongrong oleh kelompok kepentingan seperti LSM dan
kalangan kampus. Puncak perubahan dalam komunikasi politik itu terjadi
manakala demonstrasi pro reformasi mulai merebak awal tahun dan
berpuncak pada pengunduran diri Pak Harto 21 Mei 1998.
Bagaimana
komunikasi politik itu dikendalikan secara institusional pada era Orde
Baru ? Barangkali gambaran dari Cosmas Batubara (1993)
bisa sedikit menguak struktur komunikasi politik Orde Baru. Menurut
Cosmas, pada masa awal pertumbuhan demokrasi di era Orde Baru, peran
pemerintah sangat besar. Hal ini terjadi karena situasi politik ekonomi,
budaya dan hankam yang memaksa pemerintah mengambil peran lebih besar.
Demokrasi, dalam arti pembangunan politik, ekonomi dan sosial-budaya
sepenuhnya ditangani pemerintah meski sebenarnya diabdikan untuk rakyat.
Di sini jelas monopoli komunikasi politik terjadi dalam sistem politik
Indonesia.
Cosmas
menjelaskan, dalam proses pelaksanaan komunikasi politik, birokrasi
menempatkan dirinya pada posisi yang cukup sentral. Ia tak hanya
mewadahi aspirasi rakyat untuk diteruskan kepada lembaga-lembaga negara
tapi juga berperan sebagai alat untuk menyampaikan informasi yang
dibutuhkan rakyat. Namun terlihat di sini bahwa dalam proses
timbal-balik itu monopoli bisa terjaga dan kalau bisa bahkan
dikendalikan untuk tidak menggangu struktur yang telah dibentuk Orde
Baru. Seperti dikatakan Cosmas, “pembakuan tatanan dan keteraturan itu
demi berlangsungnya pembangunan nasional untuk kesejahteraan rakyat”.
Mengapa
terjadi dominasi pemerintah dalam proses komunikasi ini ? Fred W Riggs
seperti dikutip Nurul Aini, di negara Dunia Ketiga ada tiga gejala yakni
formalitas, overlapping dan heteroginitas.
IV. ORDE REFORMASI
Dengan
tumbuhnya keterbukaan dalam komunikasi politik, masyarakat semakin tahu
hak dan kewajibannya. Bahkan aksi-aksi protes sebagai sebuah masukan
kedalam sistem politik menjadi sebuah hal yang tak aneh. Salah satu
manifestasi itu adalah keberanian umat Islam untuk mendirikan partai,
sesuatu yang tabu dalam kurun waktu 32 tahun Soeharto berkuasa. Puncak
pengekangan itu terlihat dari paket UU Politik dimana asas tunggal
partai adalah Pancasila.
Dalam tempo singkat partai-partai berbasiskan Islam bermunculan mulai dari kalangan pendukungnya Nahdhatul Ulama sampai dengan Muhammadiyah.
Apakah mereka mampu menampilkan sebuah format komunikasi politik yang
bisa memikat umat dalam pemilu mendatang ? Pertanyaan ini sangat
menentukan karena pemilu mendatang akan cenderung mengutamakan
sifat-sifat distrik dibandingkan proporsional. Konsekuensinya, partai
harus memiliki orang-orang yang mampu mengkomunikasikan gagasan-gagasan
partainya kehadapan masyarakat.
Jika
pemerintah sudah berangsur-angsur membuka diri dan memberikan banyak
isyarat tentang keterbukaannya, maka partai-partai pun sudah seyogyanya
menampilkan sebuah aksi yang lebih dewasa dan bukannya emosional.
Persaingan memperebutkan suara akan lebih ketat karena puluhan partai
akan terjun dalam kampanye untuk meraih kursi sebanyak-banyaknya di DPR
tingkat daerah atau pusat.
Jika
kita coba klasifikasikan masyarakat pemilih maka akan lahir sedikitnya
tiga kategorisasi berdasarkan wilayah dan dua kelompok berdasarkan
konsep Greetz. Berdasarkan daerah akan tampak wilayah desa, wilayah
transisi dan wilayah perkotaan.Pemilih
di desa memiliki karakteristik tertentu seperti agamis, berfikir
sederhana, setia kepada tokoh lokal dan berbicara sederhana mengenai
kebutuhan dalam masyarakatnya.Sedangkan pemilih kota lebih kritis, rasional, pragmatis dan kadang-kadang apatis.
Kalau
konsep Greetz itu dijadikan sebuah cara meraba alam pikiran pemilih,
barangkali secara antropologis memang ada yang santri dalam arti
mendalami Islam serta melaksanakannya. Di samping itu ada pula kelompok
masyarakat yang pengetahuannya tidak begitu mendalam atau terpengaruh
oleh ajaran lain sehingga pendalamannya kurang. Akibatnya, timbul
sikap-sikap yang cenderung tidak dekat dengan Islam atau bahkan mungkin
bertentangan.
Pakar komunikasi Dan Nimmo
(1989) melukiskan lebih jauh lagi tentang pemilih ditinjau dari
perspektif orientasi komunikasinya. Pemberi suara pertama ia kategorikan
sebagai pemilih yang rasional. Ciri-cirinya antara lain, selalu
mengambil putusan bila dihadapkan pada alternatif, memilih alternatif
dan menyusun alternatif. Kelompok pemilih kedua, pemberi suara yang
reaktif. Mereka biasanya memilih berdasarkan karakter yang sudah ia
miliki apakah itu agama, sosisoekonomi dan tempat tinggal. Ia hanya
mereaksi terhadap kampanye yang dibawakan partai.
Selanjutnya
Dan Nimmo menggolongkan para pemilih dalam kategori ketiga yakni
pemberi suara yang responsif. Ia mengutip ilmuwan politik Gerald Pomper
yang menggambarkan karakter pemilih seperti itu. Menurut
dia, jika pemilih reaktif itu tetap, stabil dan kekal maka karakter
pemilih responsif adalah impermanen, berubah, mengikuti waktu, peristiwa
politik dan pengaruh yang berubah-ubah terhadap pilihan para pemberi
suara.
Kelompok
terakhir adalah pemberi suara yang aktif. Individu yang aktif, kata Dan
Nimmo, menghadapi dunia yang harus diinterpretasikan dan diberi makna
untuk bertindak, bukan hanya lingkungan pilihan yang telah diatur
sebelumnya. Tampaknya golongan ini kecil sekali dan diantaranya mungkin
para aktivis partai itu sendiri, keluarga, kerabat dan sahabatnya.
Di
sinilah kepiawaian partai dituntut. Mereka harus mampu mengidentifikasi
kebutuhan masyarakat yang dihadapinya sehingga mampu memberikan solusi
bagi kemajuan mereka. Partai tidak hanya membela basis ideologis dan
program perjuangannya tapi lebih penting lagi bisa memberdayakan
masyarakat yang jadi pemilihnya. Pemilih jangan sampai seperti era Orde
Baru diperlakukan dengan manis dan dimanjakan manakala suaranya
diperlukan. Setelah itu dibuang tanpa mengucapkan terima kasih
sepatahpun.
Partai-partai
Islam seyogyanya menjadi partai yang jadi panutan dalam arti
sesungguhnya. Tidak hanya tokoh-tokoh puncaknya tapi juga aktivis yang
langsung terjun ke masyarakat. Tampaknya untuk para aktivis di daerah,
bukanlah sebuah pekerjaan mudah karena selama ini komunikasi politik
jarang digunakan dan macet atau terkungkung paradigma berpikir Orde
Baru.
Dalam
kaitan dengan krisis ekonomi, aktivis partai dituntut untuk memberikan
solusi realitis dalam menjaga agar mereka yang korup tidak lagi memegang
peranan dalam pengambilan kebijakan.
Pabottinggi
menyarankan bagaimana agar komunikasi politik itu bisa berlangsung
dewasa. Pertama, berpikir secara multiparadigma. Kedua, menyadari adanya
ruang-ruang permasalahan politik dimana perbedaan pandangan akan selalu
ada. Ketiga, harus saling memandang tanpa finalitas penilaian. Tiga
pendekatan itu tampaknya relevan dengan keterlibatan banyak partai Islam
dalam menyongsong pemilu mendatang. Dengan kata lain inklusifisme,
sebagai warga Indonesia dan warga dunia Islam, harus disertakan dalam
paradigma berpikir. Mengkotak-kotakkan ummat dalam menyampaikan
pesan-pesan politik partai akan melahirkan perpecahan yang sulit
sembuhnya. Pengalaman tahun 1950-an dan 1960-an banyak memberikan
pelajaran agar sekat-sekat itu tidak dipatok begitu saja sehingga cara
berpikirpun berhenti.
V. PENUTUP
Terbukanya
keran keterbukaan akibat reformasi mendorong kelahiran era baru dalam
mengekspresikan pendapatnya. Jika pada masa Orde Baru pengekangan itu
sedemikian ketat, maka Orde Reformasi ini masyarakat menikmati bulan
madu kebebasan berkumpul dan pendapat.
Salah
satu fenomena yang terlihat adalah menjamurnya partai-partai
berbasiskan Islam. Dengan berbagai atribut, slogan, pemimpin dan
programnya mereka mulai mengenalkan diri ke hadapan umat. Meskipun
sebagian terkesan sederhana dan sebagian lagi ingin terlihat advokasinya
membela rakyat, namun kekuatan riil mereka akan teruji benar-benar
dalam pesta demokrasi yang berlangsung Mei 1999. Wallahu’alam.
Pers Indonesia memiliki latar belakang sejarah yang erat berhubungan dengan pergerakan nasional untuk memperjuangkan kemerdekaan nasional, dan dengan itu perjuangan untuk memperbaiki kehidupan rakyatnya. Meski posisi dan peranan pers mengalami pergeseran sesuai dengan perkembangan sejarah negara dan sistem politiknya, namun pers Indonesia memiliki karakter yang konstan, yakni komitmen sosial-politik yang kuat.
Media massa umumnya tunduk pada sistem pers yang berlaku di mana sistem itu hidup, sementara sistem pers itu sendiri tunduk pada sistem politik yang ada. Dengan kata lain, sistem pers merupakan subsistem dari sistem politik yang ada. Maka dalam setiap liputan pemberitaan dengan sendirinya akan memperhatikan keterikatan tersebut.
Indonesia saat ini resminya menganut sistem pers yang bebas dan bertanggungjawab. Konsep ini mengacu ke teori "pers tanggungjawab sosial." Asumsi utama teori ini adalah bahwa kebebasan mengandung di dalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan. Maka pers harus bertanggungjawab pada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi massa dalam masyarakat modern. Namun dalam prakteknya, pers harus bertanggungjawab pada pemerintah.
Ini menimbulkan kesulitan tersendiri bagi pers yang kritis dan mencoba menjalankan kontrol sosial. Ada rambu-rambu yang tidak tertulis, yang tidak bisa dilanggar. Misalnya: sulit dibayangkan pers Indonesia secara lugas dan terbuka bisa memuat isu tuduhan korupsi/kolusi/monopoli terhadap Presiden atau keluarganya. Padahal di negara demokratis, pemberitaan kritis adalah biasa saja dan jabatan Presiden bukan jabatan suci yang tak bisa disentuh.
Namun kalau toh rambu-rambu itu bisa diterima, bahkan batas-batas rambu itu sendiri tidak pernah jelas, bisa mulur-mungkret tergantung selera penguasa. Di era regim Orde Baru ini, ketika suatu penerbitan dianggap pemberitaannya "bertentangan dengan pembangunan", menghadapi risiko dibreidel.
Pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), yang berkali-kali dilakukan regim Orde Baru, hakekatnya adalah sama dengan pembreidelan, karena itu dilakukan atas alasan isi pemberitaan. Padahal UU Pokok Pers tegas mengatakan tidak ada pembreidelan. SIUPP seharusnya hanya berkaitan dengan faktor ekonomis/usaha, bukan isi berita.
Di Indonesia, kalau kita bicara tentang "kebebasan pers," maka kita kenal sebutan "Pers Pancasila." Di sini akan terlihat, bagaimana Pancasila "diobral" dan dijadikan dalih untuk melegitimasi berbagai tindakan dan praktek pembatasan kebebasan pers.
Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984) merumuskan Pers Pancasila sebagai berikut: "Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945." Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.
Kalau mengacu buku Sistem Pers Indonesia (Atmadi:1985), disebutkan, akar dari sistem kebebasan pers Indonesia adalah landasan idiil, ialah Pancasila, dengan landasan konstitusional, UUD 1945.
Kemudian disebutkan, pers adalah salah satu media pendukung keberhasilan pembangunan. Bentuk dan isi pers Indonesia perlu mencerminkan bentuk dan isi pembangunan. Kepentingan pers nasional perlu mencerminkan kepentingan pembangunan nasional. Inilah yang disebut "pers pembangunan," model yang juga banyak diterapkan di negara sedang berkembang lainnya.
Meski sepintas kedengarannya juga masih bagus, implikasinya adalah: karena pembangunan dianggap sudah merupakan program regim Orde Baru, maka pers harus mendukung pemerintah Orde Baru. Pers sangat tidak diharapkan memuat pemberitaan yang isinya bisa ditafsirkan tidak sejalan atau bertentangan dengan posisi pemerintah.
Lalu siapa yang berhak menafsirkan bahwa isi pemberitaan pers itu bertentangan atau tidak bertentangan dengan pembangunan? Dalam prakteknya, itu ditentukan oleh pemerintah sendiri. Dan karena pemerintah sangat dominan dalam berbagai aspek kehidupan sosial-politik, ini sangat membuka peluang bagi penyelewengan dan pembatasan kebebasan pers. Pemerintah (Deppen) bertindak sebagai jaksa, hakim dan sekaligus algojo, dalam membungkam pers yang dianggap "melanggar batas."
Manfaat Keberadaan Komunikasi Politik
mengenai apa arti dan manfaatnya komunikasi politik dalam tatanan kehidupan politik sehari-hari maka seharusnya masyarakat sudah menangkap dengan jelas keberadaan model-model komunikasi yang ditimbulkan dalam perpolitikan, peran komunikasi memegang peran penting dalam mengupayakan kepekaaan setiap kejadian politik yang berlangsung dewasa ini. Setelah kita memahami apakah komunikasi dan dan definisi politik maka kita secara tidak langsung akan memahami pola hubungan komunikasi yang terjadi didalamnya. Secara umum juga dijelaskan bagaimana komunikasi politik muncul sebagai suatu bidang studi yang mencoba untuk berdiri sendiri.
Dalam memahami mata kuliah ini diperkenalkan juga berbagai pendekatan teoritik maupun metodologis yang mampu menjelaskan komunikasi politik sebagai suatu suatu disiplin ilmu. Secara operasional komunikasi politik ini juga memberikan contoh-contoh konkrit dalam interaksi komunikasi maupun politik, baik dalam lingkup nasional, regional maupun internasional. Oleh karena itu pembahasan juga akan menyentuh disiplin lain secara terbatas, seperti komunikasi internasional, hubungan internasional, maupun dalam lingkup international political communication. Sementara bidang-bidang lain yang relatif dianggap baru seperti ekonomi politik media, teknologi media dibahas secara terbatas.
Dalam substansi operasionalnya akan dibahas mengenai batasan komunikasi politik, baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Kemudian akan dibahas juga secara mendalam komunikasi persuasive dalam komunikasi politik seperti bahasa politik, retorik politik, iklan politik propaganda dan debat politik, sampai kepada sosialisasi politik, kampanye politik, pendapat umum dan lainnya kesemuanya dikaitkan dengan peran komunikasi sebagai komponen yang dominan.
Ketika kita berbicara masalah komunikasi politik maka kita mau tidak mau akan berbicara masalah komunikasi dan politik, dan akan berbicara masalah komponen dan segala sesuatunya yang terdapat didalamnya. Mata rantai disiplin ilmu kemudian akan nampak bahwa komunikasi politik juga berhubungan dengan masalah sosial, budaya, agama dan lain sebagainya. Sehingga jelas bahwa disini komunikasi politik membelikan peluang untuk para praktisi mempelajarinya guna memperkaya khasanah keilmuan dan mempertajam daya analisis.
Langganan:
Postingan (Atom)