Komunikasi Politik Orde Reformasi
I. PENDAHULUAN
Sejalan
dengan perkembangan politik yang mendadak dengan mundurnya Presiden
Soeharto pada 21 Mei perubahan dalam cara berkomunikasi pun mengalami
pergeseran. Lihat misalnya, cara Pak Harto berkomunikasi dengan para
menteri dan massa berbeda dengan Presiden BJ Habibie. Ini menunukkan
sebuah cara berkomunikasi yang berbeda satu sama lain meski memiliki
ciri, tujuan dan sasaran yang sama.
Dengan
bertolak dari fenomena itu, tulisan ini akan memfokuskan diri pada
proses komunikasi politik era Orde Baru. Kemudian dilanjutkan dengan
karakter komunikasi politik yang muncul pada era Orde Reformasi yang
baru berusia tiga bulan. Selanjutnya akan dilihat sesungguhnya dalam
sebuah komunikasi politik apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dari para
pejabat yang menyampaikan kebijakannya baik melalui media massa atau
langsung. Namun sebelum itu ada baiknya kita menengok bagaimana kerangka
pemikiran ilmuwan sosial terhadap komunikasi politik ini.
II. KERANGKA TEORITIS
Menurut
Gabriel Almond, semua bentuk interaksi manusia melibatkan komunikasi.
Media massa seperti televisi, radio, surat kabar dan majalah ikut
mempengaruhi struktur komunikasi dalam masyarakat. Almond membedakan
empat struktur komunikasi.
Pertama,
kontak tatap muka informal yang muncul terpisah dari struktur
masyarakat. Kedua, struktur sosial tradisional seperti hubungan keluarga
dan keagamaan. Ketiga, struktur politik “output” (keluaran) seperti
legislatif dan birokrasi. Keempat, struktur “input” (masukan) termasuk
misalnya serikat buruh dan kelompok kepentingan dan partai-partai
politik. Kelima, media massa.
Almond menilai, kontak informal dalam sistem politik manapun tidak bisa disepelekan. Riset ilmuwan sosial telah membuktikan bahwa
saluran informal menjadi sistem komunikasi paling berkembang. Ia
menyebutkan, studi media massa dan opini publik, Katz dan Lazarsfled
(1955) menemukan bahwa media massa tidak membuat pengaruh langsung atas
kebanyakan individu.
Mochtar
Pabotinggi (1993) menguraikan dalam prosesnya komunikasi politik sering
mengalami empat distoris. Pertama, distoris bahasa sebagai topeng. Ia
memberikan contohnya dengan melihat bagaimana orang mengatakan alis
“bagai semut beriring” atau bibir “bak delima merekah”. Uraian itu
menunjukkan sebuah euphemisme.
Oleh
sebab itulah, bahasa yang menampilkan sesuatu lain dari yang
dimaksudkan atau berbeda dengan situasi sebenarnya, bisa disebut seperti
diungkakan Ben Anderson (1966), “bahasa topeng”.
Kedua,
distorsi bahasa sebagai proyek lupa. Manusia makhluk yang memang
pelupa. Namun demikian dalam konteks politik kita membicarakan lupa
sebagai sesuatu yang dimanipulasikan. Ternyata seperti diulas
Pabottinggi, “lupa dapat diciptakan dan direncanakan bukan hanya atas
satu orang, melainkan atas puluhan bahkan ratusan juta orang.”
Selanjutnya Pabottinggi membuat pendapat lebih jauh bahwa dengan mengalihkan perhatian seorang atau ratusan juta orang, maka
massa bisa lupa. Bahkan lupa bisa diperpanjang selama dikehendaki manipulator. Di sini tampak distorsi komunikasi ini bisa parah jika sebuah rejim menghendaki rakyatnya melupakan sejarah atau membuat sejarah sendiri untuk melupakan sejarah pemerintahan sebelumnya.
massa bisa lupa. Bahkan lupa bisa diperpanjang selama dikehendaki manipulator. Di sini tampak distorsi komunikasi ini bisa parah jika sebuah rejim menghendaki rakyatnya melupakan sejarah atau membuat sejarah sendiri untuk melupakan sejarah pemerintahan sebelumnya.
Distorsi
ketiga adalah, distorsi bahasa sebagai representasi. Jika dalam
distoris topeng keadaan sebenarnya ditutupi dan dalam distorsi lupa
berbicara soal pengalihan sesuatu, maka distorsi ketiga ini terjadi bila
kita melukiskan sesuatu tidak sebagaimana mestinya.
Pabottinggi
memberi contoh bagaimana gambaran buruk yang menimpa kaum Muslimin dan
orang Arab oleh media Barat. Dunia Islam, seperti disebutkan Edward Said
(1978) selalu dipandang sebagai lawan Barat. Dalam
politik nasional pun, suatu kelompok yang jadi lawan politik rejim
berkuasa sering dilukiskan sebagai penyeleweng, penganut aliran sesat
dan tidak memakmurkan rakyat.
Yang
terakhir adalah distorsi bahasa sebagai ideologi. Distorsi keempat
inilah yang paling berbahaya. Sedikitnya dua alasan mengapa distorsi
ideologi itu rawan. Pertama, setiap ideologi pada dasarnya memang sudah
bersifat distortif. Kedua, distorsi ideologi sangat lihai menggunakan
ketiga jenis distorsi lainnya.
Kita
lihat mengapa sangat berbahaya. Ada dua perspektif yang cenderung
menyebarkan distoris ideologi. Pertama, perspektif yang mengidentikkan
kegiatan politik sebagai hak istimewa sekelompok orang. Perspektif ini
menekankan hanya penguasalah yang berhak menentukan mana yang politik
dan mana yang bukan. Oleh sebab itu nantinya akan berakhir dengan monopoli
politik kelompok tertentu. Kedua, perspektif yang semata-mata
menekankan tujuan tertinggi suatu sistem politik.Mereka yang menganut
perspektif ini hanya menitikberatkan pada tujuan tertinggi sebuah sistem
politik tanpa mempersoalkan apa yang sesungguhnya dikehendaki rakyat.
III. ERA ORDE BARU
Dari
keempat struktur komunikasi dari Almond tu jelas bahwa jika diterapkan
di Indonesia maka memang benar hubungan komunikasi pribadi lebih
menentukan dibandingkan dengan saluran komunikasi formal. Kemacetan yang
dialami sistem politik Indonesia saat itu menunjukkan bahwa pada
akhirnya komunikasi antar partai politik yang mendudukkan wakilnya di
DPR/MPR tak lagi bisa menampung aspirasi rakyat.
Contoh yang paling lengkap adalah bagaimana kekuasaan politik
Indonesia pada masa terakhir Orde Baru berpusat pada presiden. Seluruh proses komunikasi sistem politik Indonesia akhirnya tergantung pada satu tangan, presiden. Badan legislatif tidak lagi berfungsi sebagai suara rakyat tetapi tak lain hanya mendukung presiden. Kritik yang terlalu keras dilontarkan oleh anggota DPR/MPR akan berakhir dengan pemberhentikan tidak hormat. Kasus Sri Bintang Pamungkas menunjukkan bagaimana monopoli komunikasi itu tidak boleh lepas sedikitpun ketika anggota DPR itu sangat vokal dan kritis.
Indonesia pada masa terakhir Orde Baru berpusat pada presiden. Seluruh proses komunikasi sistem politik Indonesia akhirnya tergantung pada satu tangan, presiden. Badan legislatif tidak lagi berfungsi sebagai suara rakyat tetapi tak lain hanya mendukung presiden. Kritik yang terlalu keras dilontarkan oleh anggota DPR/MPR akan berakhir dengan pemberhentikan tidak hormat. Kasus Sri Bintang Pamungkas menunjukkan bagaimana monopoli komunikasi itu tidak boleh lepas sedikitpun ketika anggota DPR itu sangat vokal dan kritis.
Jamie Mackie dan Andrew MacIntyre (1994),
melukiskan perkembangan struktur kekuasaan Orde Baru yang mencakup
didalamnya monopoli komunikasi politik. Mereka membagi tiga fase dalm
iklim politik Orde Baru. Fase pertama, 1965-1974 ditandai dengan
atmosfir terbuka, kompetitif dan partisipasi rakyat yang tinggi. Bahkan
ekspresi politik masyarakat pun relatif bebas. Di sinilah bulan madu
komunikasi politik di Indonesia terjadi. Rakyat dengan bebas mengkritik
pemerintahan lama, Orde Lama, karena kegagalannya membendung komunis dan
merebaknya kemiskinan. Masa awal ini mirip seperti terjadi di era
reformasi saat ini dimana ekspresi itu tertuang dalam media massa dan
pembentukan partai politik yang jumlahnya saat ini lebih dari 50 partai.
Periode
kedua 1974-1983 dimulainya pengawasan terhadap komunikasi politik
dimana aktivitas politik, pers dan pernyataan masyarakat mulai dibatasi.
Dan pada fase 1983-1990, kontrol sosial sangat ketat yang harus
disesuaikan dengan ideologi yang dikukuhkan lewat P4 dan asas tunggal.
Boleh ditambahkan di sini pada periode 1990-1998, monopoli politik yang
sudah sedemikian ketatnya berangsur-angsur mendapat perlawanan sehingga
akibat gelombang demokratisasi di dunia lahirlah apa yang disebut
keterbukaan. Monopoli komunikasi tidak lagi dipegang negara tapi mulai
diimbangi bahkan dirongrong oleh kelompok kepentingan seperti LSM dan
kalangan kampus. Puncak perubahan dalam komunikasi politik itu terjadi
manakala demonstrasi pro reformasi mulai merebak awal tahun dan
berpuncak pada pengunduran diri Pak Harto 21 Mei 1998.
Bagaimana
komunikasi politik itu dikendalikan secara institusional pada era Orde
Baru ? Barangkali gambaran dari Cosmas Batubara (1993)
bisa sedikit menguak struktur komunikasi politik Orde Baru. Menurut
Cosmas, pada masa awal pertumbuhan demokrasi di era Orde Baru, peran
pemerintah sangat besar. Hal ini terjadi karena situasi politik ekonomi,
budaya dan hankam yang memaksa pemerintah mengambil peran lebih besar.
Demokrasi, dalam arti pembangunan politik, ekonomi dan sosial-budaya
sepenuhnya ditangani pemerintah meski sebenarnya diabdikan untuk rakyat.
Di sini jelas monopoli komunikasi politik terjadi dalam sistem politik
Indonesia.
Cosmas
menjelaskan, dalam proses pelaksanaan komunikasi politik, birokrasi
menempatkan dirinya pada posisi yang cukup sentral. Ia tak hanya
mewadahi aspirasi rakyat untuk diteruskan kepada lembaga-lembaga negara
tapi juga berperan sebagai alat untuk menyampaikan informasi yang
dibutuhkan rakyat. Namun terlihat di sini bahwa dalam proses
timbal-balik itu monopoli bisa terjaga dan kalau bisa bahkan
dikendalikan untuk tidak menggangu struktur yang telah dibentuk Orde
Baru. Seperti dikatakan Cosmas, “pembakuan tatanan dan keteraturan itu
demi berlangsungnya pembangunan nasional untuk kesejahteraan rakyat”.
Mengapa
terjadi dominasi pemerintah dalam proses komunikasi ini ? Fred W Riggs
seperti dikutip Nurul Aini, di negara Dunia Ketiga ada tiga gejala yakni
formalitas, overlapping dan heteroginitas.
IV. ORDE REFORMASI
Dengan
tumbuhnya keterbukaan dalam komunikasi politik, masyarakat semakin tahu
hak dan kewajibannya. Bahkan aksi-aksi protes sebagai sebuah masukan
kedalam sistem politik menjadi sebuah hal yang tak aneh. Salah satu
manifestasi itu adalah keberanian umat Islam untuk mendirikan partai,
sesuatu yang tabu dalam kurun waktu 32 tahun Soeharto berkuasa. Puncak
pengekangan itu terlihat dari paket UU Politik dimana asas tunggal
partai adalah Pancasila.
Dalam tempo singkat partai-partai berbasiskan Islam bermunculan mulai dari kalangan pendukungnya Nahdhatul Ulama sampai dengan Muhammadiyah.
Apakah mereka mampu menampilkan sebuah format komunikasi politik yang
bisa memikat umat dalam pemilu mendatang ? Pertanyaan ini sangat
menentukan karena pemilu mendatang akan cenderung mengutamakan
sifat-sifat distrik dibandingkan proporsional. Konsekuensinya, partai
harus memiliki orang-orang yang mampu mengkomunikasikan gagasan-gagasan
partainya kehadapan masyarakat.
Jika
pemerintah sudah berangsur-angsur membuka diri dan memberikan banyak
isyarat tentang keterbukaannya, maka partai-partai pun sudah seyogyanya
menampilkan sebuah aksi yang lebih dewasa dan bukannya emosional.
Persaingan memperebutkan suara akan lebih ketat karena puluhan partai
akan terjun dalam kampanye untuk meraih kursi sebanyak-banyaknya di DPR
tingkat daerah atau pusat.
Jika
kita coba klasifikasikan masyarakat pemilih maka akan lahir sedikitnya
tiga kategorisasi berdasarkan wilayah dan dua kelompok berdasarkan
konsep Greetz. Berdasarkan daerah akan tampak wilayah desa, wilayah
transisi dan wilayah perkotaan.Pemilih
di desa memiliki karakteristik tertentu seperti agamis, berfikir
sederhana, setia kepada tokoh lokal dan berbicara sederhana mengenai
kebutuhan dalam masyarakatnya.Sedangkan pemilih kota lebih kritis, rasional, pragmatis dan kadang-kadang apatis.
Kalau
konsep Greetz itu dijadikan sebuah cara meraba alam pikiran pemilih,
barangkali secara antropologis memang ada yang santri dalam arti
mendalami Islam serta melaksanakannya. Di samping itu ada pula kelompok
masyarakat yang pengetahuannya tidak begitu mendalam atau terpengaruh
oleh ajaran lain sehingga pendalamannya kurang. Akibatnya, timbul
sikap-sikap yang cenderung tidak dekat dengan Islam atau bahkan mungkin
bertentangan.
Pakar komunikasi Dan Nimmo
(1989) melukiskan lebih jauh lagi tentang pemilih ditinjau dari
perspektif orientasi komunikasinya. Pemberi suara pertama ia kategorikan
sebagai pemilih yang rasional. Ciri-cirinya antara lain, selalu
mengambil putusan bila dihadapkan pada alternatif, memilih alternatif
dan menyusun alternatif. Kelompok pemilih kedua, pemberi suara yang
reaktif. Mereka biasanya memilih berdasarkan karakter yang sudah ia
miliki apakah itu agama, sosisoekonomi dan tempat tinggal. Ia hanya
mereaksi terhadap kampanye yang dibawakan partai.
Selanjutnya
Dan Nimmo menggolongkan para pemilih dalam kategori ketiga yakni
pemberi suara yang responsif. Ia mengutip ilmuwan politik Gerald Pomper
yang menggambarkan karakter pemilih seperti itu. Menurut
dia, jika pemilih reaktif itu tetap, stabil dan kekal maka karakter
pemilih responsif adalah impermanen, berubah, mengikuti waktu, peristiwa
politik dan pengaruh yang berubah-ubah terhadap pilihan para pemberi
suara.
Kelompok
terakhir adalah pemberi suara yang aktif. Individu yang aktif, kata Dan
Nimmo, menghadapi dunia yang harus diinterpretasikan dan diberi makna
untuk bertindak, bukan hanya lingkungan pilihan yang telah diatur
sebelumnya. Tampaknya golongan ini kecil sekali dan diantaranya mungkin
para aktivis partai itu sendiri, keluarga, kerabat dan sahabatnya.
Di
sinilah kepiawaian partai dituntut. Mereka harus mampu mengidentifikasi
kebutuhan masyarakat yang dihadapinya sehingga mampu memberikan solusi
bagi kemajuan mereka. Partai tidak hanya membela basis ideologis dan
program perjuangannya tapi lebih penting lagi bisa memberdayakan
masyarakat yang jadi pemilihnya. Pemilih jangan sampai seperti era Orde
Baru diperlakukan dengan manis dan dimanjakan manakala suaranya
diperlukan. Setelah itu dibuang tanpa mengucapkan terima kasih
sepatahpun.
Partai-partai
Islam seyogyanya menjadi partai yang jadi panutan dalam arti
sesungguhnya. Tidak hanya tokoh-tokoh puncaknya tapi juga aktivis yang
langsung terjun ke masyarakat. Tampaknya untuk para aktivis di daerah,
bukanlah sebuah pekerjaan mudah karena selama ini komunikasi politik
jarang digunakan dan macet atau terkungkung paradigma berpikir Orde
Baru.
Dalam
kaitan dengan krisis ekonomi, aktivis partai dituntut untuk memberikan
solusi realitis dalam menjaga agar mereka yang korup tidak lagi memegang
peranan dalam pengambilan kebijakan.
Pabottinggi
menyarankan bagaimana agar komunikasi politik itu bisa berlangsung
dewasa. Pertama, berpikir secara multiparadigma. Kedua, menyadari adanya
ruang-ruang permasalahan politik dimana perbedaan pandangan akan selalu
ada. Ketiga, harus saling memandang tanpa finalitas penilaian. Tiga
pendekatan itu tampaknya relevan dengan keterlibatan banyak partai Islam
dalam menyongsong pemilu mendatang. Dengan kata lain inklusifisme,
sebagai warga Indonesia dan warga dunia Islam, harus disertakan dalam
paradigma berpikir. Mengkotak-kotakkan ummat dalam menyampaikan
pesan-pesan politik partai akan melahirkan perpecahan yang sulit
sembuhnya. Pengalaman tahun 1950-an dan 1960-an banyak memberikan
pelajaran agar sekat-sekat itu tidak dipatok begitu saja sehingga cara
berpikirpun berhenti.
V. PENUTUP
Terbukanya
keran keterbukaan akibat reformasi mendorong kelahiran era baru dalam
mengekspresikan pendapatnya. Jika pada masa Orde Baru pengekangan itu
sedemikian ketat, maka Orde Reformasi ini masyarakat menikmati bulan
madu kebebasan berkumpul dan pendapat.
Salah
satu fenomena yang terlihat adalah menjamurnya partai-partai
berbasiskan Islam. Dengan berbagai atribut, slogan, pemimpin dan
programnya mereka mulai mengenalkan diri ke hadapan umat. Meskipun
sebagian terkesan sederhana dan sebagian lagi ingin terlihat advokasinya
membela rakyat, namun kekuatan riil mereka akan teruji benar-benar
dalam pesta demokrasi yang berlangsung Mei 1999. Wallahu’alam.
Pers Indonesia memiliki latar belakang sejarah yang erat berhubungan dengan pergerakan nasional untuk memperjuangkan kemerdekaan nasional, dan dengan itu perjuangan untuk memperbaiki kehidupan rakyatnya. Meski posisi dan peranan pers mengalami pergeseran sesuai dengan perkembangan sejarah negara dan sistem politiknya, namun pers Indonesia memiliki karakter yang konstan, yakni komitmen sosial-politik yang kuat.
Media massa umumnya tunduk pada sistem pers yang berlaku di mana sistem itu hidup, sementara sistem pers itu sendiri tunduk pada sistem politik yang ada. Dengan kata lain, sistem pers merupakan subsistem dari sistem politik yang ada. Maka dalam setiap liputan pemberitaan dengan sendirinya akan memperhatikan keterikatan tersebut.
Indonesia saat ini resminya menganut sistem pers yang bebas dan bertanggungjawab. Konsep ini mengacu ke teori "pers tanggungjawab sosial." Asumsi utama teori ini adalah bahwa kebebasan mengandung di dalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan. Maka pers harus bertanggungjawab pada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi massa dalam masyarakat modern. Namun dalam prakteknya, pers harus bertanggungjawab pada pemerintah.
Ini menimbulkan kesulitan tersendiri bagi pers yang kritis dan mencoba menjalankan kontrol sosial. Ada rambu-rambu yang tidak tertulis, yang tidak bisa dilanggar. Misalnya: sulit dibayangkan pers Indonesia secara lugas dan terbuka bisa memuat isu tuduhan korupsi/kolusi/monopoli terhadap Presiden atau keluarganya. Padahal di negara demokratis, pemberitaan kritis adalah biasa saja dan jabatan Presiden bukan jabatan suci yang tak bisa disentuh.
Namun kalau toh rambu-rambu itu bisa diterima, bahkan batas-batas rambu itu sendiri tidak pernah jelas, bisa mulur-mungkret tergantung selera penguasa. Di era regim Orde Baru ini, ketika suatu penerbitan dianggap pemberitaannya "bertentangan dengan pembangunan", menghadapi risiko dibreidel.
Pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), yang berkali-kali dilakukan regim Orde Baru, hakekatnya adalah sama dengan pembreidelan, karena itu dilakukan atas alasan isi pemberitaan. Padahal UU Pokok Pers tegas mengatakan tidak ada pembreidelan. SIUPP seharusnya hanya berkaitan dengan faktor ekonomis/usaha, bukan isi berita.
Di Indonesia, kalau kita bicara tentang "kebebasan pers," maka kita kenal sebutan "Pers Pancasila." Di sini akan terlihat, bagaimana Pancasila "diobral" dan dijadikan dalih untuk melegitimasi berbagai tindakan dan praktek pembatasan kebebasan pers.
Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984) merumuskan Pers Pancasila sebagai berikut: "Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945." Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.
Kalau mengacu buku Sistem Pers Indonesia (Atmadi:1985), disebutkan, akar dari sistem kebebasan pers Indonesia adalah landasan idiil, ialah Pancasila, dengan landasan konstitusional, UUD 1945.
Kemudian disebutkan, pers adalah salah satu media pendukung keberhasilan pembangunan. Bentuk dan isi pers Indonesia perlu mencerminkan bentuk dan isi pembangunan. Kepentingan pers nasional perlu mencerminkan kepentingan pembangunan nasional. Inilah yang disebut "pers pembangunan," model yang juga banyak diterapkan di negara sedang berkembang lainnya.
Meski sepintas kedengarannya juga masih bagus, implikasinya adalah: karena pembangunan dianggap sudah merupakan program regim Orde Baru, maka pers harus mendukung pemerintah Orde Baru. Pers sangat tidak diharapkan memuat pemberitaan yang isinya bisa ditafsirkan tidak sejalan atau bertentangan dengan posisi pemerintah.
Lalu siapa yang berhak menafsirkan bahwa isi pemberitaan pers itu bertentangan atau tidak bertentangan dengan pembangunan? Dalam prakteknya, itu ditentukan oleh pemerintah sendiri. Dan karena pemerintah sangat dominan dalam berbagai aspek kehidupan sosial-politik, ini sangat membuka peluang bagi penyelewengan dan pembatasan kebebasan pers. Pemerintah (Deppen) bertindak sebagai jaksa, hakim dan sekaligus algojo, dalam membungkam pers yang dianggap "melanggar batas."
Manfaat Keberadaan Komunikasi Politik
mengenai apa arti dan manfaatnya komunikasi politik dalam tatanan kehidupan politik sehari-hari maka seharusnya masyarakat sudah menangkap dengan jelas keberadaan model-model komunikasi yang ditimbulkan dalam perpolitikan, peran komunikasi memegang peran penting dalam mengupayakan kepekaaan setiap kejadian politik yang berlangsung dewasa ini. Setelah kita memahami apakah komunikasi dan dan definisi politik maka kita secara tidak langsung akan memahami pola hubungan komunikasi yang terjadi didalamnya. Secara umum juga dijelaskan bagaimana komunikasi politik muncul sebagai suatu bidang studi yang mencoba untuk berdiri sendiri.
Dalam memahami mata kuliah ini diperkenalkan juga berbagai pendekatan teoritik maupun metodologis yang mampu menjelaskan komunikasi politik sebagai suatu suatu disiplin ilmu. Secara operasional komunikasi politik ini juga memberikan contoh-contoh konkrit dalam interaksi komunikasi maupun politik, baik dalam lingkup nasional, regional maupun internasional. Oleh karena itu pembahasan juga akan menyentuh disiplin lain secara terbatas, seperti komunikasi internasional, hubungan internasional, maupun dalam lingkup international political communication. Sementara bidang-bidang lain yang relatif dianggap baru seperti ekonomi politik media, teknologi media dibahas secara terbatas.
Dalam substansi operasionalnya akan dibahas mengenai batasan komunikasi politik, baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Kemudian akan dibahas juga secara mendalam komunikasi persuasive dalam komunikasi politik seperti bahasa politik, retorik politik, iklan politik propaganda dan debat politik, sampai kepada sosialisasi politik, kampanye politik, pendapat umum dan lainnya kesemuanya dikaitkan dengan peran komunikasi sebagai komponen yang dominan.
Ketika kita berbicara masalah komunikasi politik maka kita mau tidak mau akan berbicara masalah komunikasi dan politik, dan akan berbicara masalah komponen dan segala sesuatunya yang terdapat didalamnya. Mata rantai disiplin ilmu kemudian akan nampak bahwa komunikasi politik juga berhubungan dengan masalah sosial, budaya, agama dan lain sebagainya. Sehingga jelas bahwa disini komunikasi politik membelikan peluang untuk para praktisi mempelajarinya guna memperkaya khasanah keilmuan dan mempertajam daya analisis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar